Perpustakaan desa itu sederhana, hanya bangunan kecil dengan rak kayu yang sebagian catnya terkelupas. Buku-buku tersusun tidak rapi, beberapa sampul sudah lusuh. Namun pagi itu, suasananya berbeda, anak-anak SD berkerumun, menanti kehadiran seorang tamu.
Bunda Ela masuk dengan senyum lebar, membawa setumpuk buku bergambar. Ia langsung duduk lesehan di lantai, di tengah lingkaran anak-anak.
“Hari ini, kita akan bertualang lewat cerita,” ujarnya. Anak-anak bertepuk tangan riang.
Ia membuka sebuah buku cerita rakyat Kuningan, lalu mulai membacakan dengan penuh ekspresi. Suaranya naik-turun, matanya ikut berkilat.
Anak-anak terhanyut, ada yang tertawa, ada pula yang menahan napas saat kisah sampai pada bagian menegangkan.
Seusai membaca, Bunda Ela mengeluarkan sebuah papan tulis kecil.
“Sekarang, tuliskan mimpi kalian. Mau jadi apa kalau besar nanti?” katanya.
Satu per satu anak maju. Ada yang menulis ingin jadi guru, dokter, tentara, bahkan ada yang menulis: “Aku ingin jadi penulis, biar semua orang tahu cerita desa kami.”
Bunda Ela menatap tulisan itu lama. Matanya terasa panas. “Bagus sekali. Ingat, mimpi bukan untuk ditertawakan. Mimpi adalah jalan yang akan membawa kalian ke masa depan.”
Tiba-tiba seorang anak laki-laki berambut kusut berbisik pelan, “Tapi Bunda, aku nggak punya buku di rumah. Aku sering pinjam ke teman.”
Hening. Beberapa anak mengangguk, wajah mereka malu.
Bunda Ela terdiam sejenak, lalu berdiri. “Mulai hari ini, perpustakaan ini bukan milik desa saja. Ini milik kalian. Saya titipkan buku-buku baru ini. Bacalah, jagalah, lalu ceritakan kembali kepada teman-teman. Jadilah penjaga mimpi.”
Anak-anak bersorak, sebagian menepuk-nepuk buku baru yang dibagikan. Di sudut ruangan, seorang guru desa menghapus air mata tanpa suara.
Saat keluar, Bunda Ela menatap langit senja yang mulai merona. Dalam hati ia berbisik:
“Mimpi anak-anak ini sederhana, tapi lebih kuat dari apapun. Tugasku bukan memberi jawaban, melainkan menjaga agar mimpi itu tidak padam.”. (anonim).

