Image default
Cerpen Terbaru

Bunda Ela di Tengah Pelukan Rakyat

Pagi itu, Ela seorang Istri dari Pemimpin salah satu daerah yang akrab dipanggil Bunda Ela menatap bayangannya di cermin. Seorang perempuan berbalut kebaya sederhana, tapi dengan beban peran yang berlapis: Ketua PKK, Bunda Literasi, Bunda PAUD, Bunda Sosial, hingga Ketua Dekranasda.

Orang sering memanggilnya “Bunda Segala Bunda.” Ada yang kagum, ada pula yang mencibir, “Hanya pencitraan.” Tapi Bunda Ela tahu, niatnya hanya satu: hadir untuk rakyat.

Hari pertamanya minggu itu dimulai di desa kecil di pinggiran kecamatan. Bersama ibu-ibu PKK, ia duduk di atas tikar, ikut menggoreng keripik singkong.

Tangannya berminyak, bajunya hampir belepotan, tapi ia tertawa renyah.

“Kalau ini dikemas lebih cantik, harganya bisa naik tiga kali lipat,” ujarnya sambil menunjukkan cara membungkus.

Ibu-ibu tersenyum malu, ada yang matanya berkaca-kaca: jarang ada istri pejabat yang mau duduk begitu dekat dengan mereka.

Besoknya, ia hadir di PAUD. Anak-anak kecil menyambut dengan lagu sederhana. Bunda Ela menunduk, berjongkok, meraih tangan mungil yang menempel di bajunya.

Ia ikut bernyanyi dan menari, meski napasnya tersengal. Seorang guru berbisik lirih, “Kami sering kesulitan beli mainan edukatif, Bu.”

Bunda Ela menahan air mata, lalu mengeluarkan boneka kain hasil karya pengrajin lokal. “Mari kita pakai ini. Anak-anak belajar, UMKM pun hidup.”

Di hari lain, ia masuk ke lorong rumah sempit, menjenguk seorang nenek renta yang hidup sendirian. Ruangan pengap, kasur tipis, dan tatapan kosong menyambutnya.

Bunda Ela duduk di lantai, memegang tangan keriput itu. “Nenek tidak sendiri,” bisiknya. Seorang wartawan yang ikut meliput terdiam, kamera di tangannya gemetar, adegan itu terlalu manusiawi untuk dipandang sekadar berita.

Namun, tidak semua orang memuji. Di media sosial, komentar miring bermunculan: “Istri bupati kerjaannya cuma gaya. Semua settingan.”

Bunda Ela membaca itu diam-diam malam hari. Hatinya rapuh kadang tersayat. Tapi ia kembali teringat wajah anak-anak PAUD, genggaman hangat nenek renta, dan semangat ibu-ibu desa. Itu cukup menjadi alasan untuk tetap melangkah.

Puncak minggu itu, ia membuka pameran UMKM di balai kecamatan. Setelah memberi sambutan singkat, Bunda Ela tak segan duduk di depan tungku batik, tangannya belepotan malam cair.

“Kalau batik ini laku, siapa yang bangga? Kita semua!” serunya. Tepuk tangan menggema. Di balik sorakan itu, ia tahu, bukan glamor yang dicari rakyat, tapi kehadiran yang tulus.

Malamnya, sebelum tidur, Melati menulis di buku catatan kecilnya:
“Kadang aku dicibir, kadang aku dipuji. Tapi esok aku akan tetap datang, karena di setiap tawa anak-anak, di setiap doa ibu, di setiap harapan rakyat kecil, aku menemukan arti diriku sendiri.”

Dan di balik senyumnya yang lelah, Bunda Ela tahu, drama ini bukan tentang panggung politik, tapi tentang humanisme yang hidup dalam dirinya.(anonim).

Cerpen yang terinspirasi dari perjalanan hidup seorang Perempuan Hebat

Related posts

Segelas “Cuing” dan Sebuah Pagi Sederhana Bunda Ela di CFD Kuningan

Mata

Laju Pertumbuhan Ekonomi Jabar Lampaui Nasional, Sekda Herman Ingatkan Pentingnya Momentum

Mata

Bupati Dian Rachmat Yanuar Kembali ke SMAN 2 Kuningan, Beri Wejangan Kepemimpinan untuk Siswa

Mata

Leave a Comment